Kamis, 16 Juni 2011

BATIN ADALAH LAUTAN
Sahabat-sahabatku yang semoga selalu mendapat lipahan rahmat Allah, salah satu dari khulafa’ur rasyidin yakni Sayyidina Abu Bakar Ash-shidiq ra. Pernah sekali waktu beliau memberikan tafsir tentang ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
ظَهَرَاْلفَسَادُفِي اْلبَرِّوَاْلبَحْرِ
Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan
Beliau sayyidina Abu Bakar berkata dalam hikmahnya: Albarru huwal lisaanu walbahru huwal qalbu, faidza fasadal lisaan bakat ‘alaihin nufus, waidza fasadal qalbu bakat ‘alaihil malaikat. (darat adalah lisan dan lautan adalah batin/qalbu. Apabila lisan telah rusak, maka akan ditangisi oleh jiwa. Dan apabila batin/qalbu rusak, maka akan ditangisi oleh para malaikat).
Sahabat-sahabatku, sekarang, saya ingin Anda membawa imajinasi Anda saat ini ke tengah lautan yang sangat luas. Anda berlayar dengan kapal pesiar bersama penumpang lainnya. Perahu yang Anda tumpangi, oleh karena badai besar telah tenggelam ke dasar lautan ditelan ombak ganas. Di sana, setelah perahu tenggelam, kita tak lagi dapat melihat mana tepi lautan untuk kita naik ke darat menyelamatkan diri. Sekeliling kita adalah hamparan air yang berombak besar, dan kita terapung-apung tanpa tahu arah di sana, kita berada hanya di atas selembar papan kayu yang kecil. Sementara di dalam air, kepiting laut tengah berebut menggerogoti papan kayu yang kita tumpangi. Bahkan sedikit demi sedikit hewan laut lainnya juga mulai menggerogoti kaki kita. Memakannya dan kita tak sanggup mengelak apalagi memberikan perlawanan. Yang sanggup dilakukan hanyalah menahan rasa sakit. Tidak jauh di depan Anda, puluhan ekor ikan hiu sedang berusaha mendekat dengan memperlihatkan gigi-giginya yang tajam siap untuk menelan Anda. Kecuali itu, di atas Anda burung-burung bangkai beterbangan sambil berebut mematuk kepala Anda. Sementara ombak lautan semakin lama semakin besar. Anda di ujung kematian yang sangat dekat. Sahabat-sahabatku, saya ingin tahu, apa yang akan Anda lakukan untuk menyelamatkan diri dari kematian di saat-saat seperti itu?
Berteriak minta tolong…? Ingat, Anda hanya sendirian. Bahkan jika ada orang lain pun mereka sedang dalam kondisi yang sama dengan kita, terapung-apung di atas selembar papan kecil yang digerogoti kepiting laut. Dan kaki mereka juga digerogoti ikan-ikan. Di depannya, ikan hiu jahat siap menerkam. Dan di atas kepala puluhan burung bangkai berebut mematuk kepalanya. Mungkin, rasanya tak ada apapun yang dapat kita lakukan selain kita pejamkan mata dan pasrah menerima kenyataan bahwa maut sedetik lagi akan merenggut kita. Menangis…? Tak ada gunanya lagi air mata dikucurkan. Menyesal menyeberangi laut? Juga tak ada artinya. Perjalanan hidup kita telah rusak, tinggal menunggu saat hewan laut menghabiskan daging di tubuh kita, membiarkan burung bangkai mematuki kepala kita dan ikan hiu jahat menelan habis tubuh kita. Innalillaahi wa inna ilaihi raaji’uun. Allahu akbar! Mungkin begitulah jeritan terakhir kita jika kita ingat bahwa kita akan kembali kepada yang punya lautan. Tetapi jika tidak, tak ada lagi kalimat yang bisa menyelamatkan kita. Padahal setelah peristiwa yang sangat menegangkan itu terjadi, pasti kita akan mengalami babak baru kehidupan kita yang tidak ada garis finishnya. Yaitu akhirat. Subhaanallaah, maha suci Engkau ya Allah. Kami berlindung dari akhir usia yang buruk bagi kehidupan kami, dan kami mohon berilah kami khusnul khatimah di akhir hayat kami, ya Allah. Berilah kami jalan menuju mardlatillah Mu.
Sahabat-sahabatku, Allah telah menegaskan di dalam firman Nya bahwa dlahaaral fasaadu fil barri wal bahri bimaa kasabat aedin naas (telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat ulah tangan manusia sendiri). Sayyidina Abu Bakar Ash-Shidiq ra. memberi tafsir tentang ayat ini bahwa daratan adalah lisan. Lisan kita sendiri. Lisan, ucapan adalah sesuatu yang sangat mudah untuk dilakukan. Jujur harus kita akui, sangat jarang bahkan nyaris tidak pernah kita menyampaikan rasa syukur kepada Allah atas nikmat lisan yang sangat berharga ini. Kita menganggapnya sesuatu yang remeh. Kemudian menggunakannya untuk mengucapkan kalimat-kalimat buruk yang justru dapat menghancurkan hidup kita sendiri. Kita menganggap lisan ini sebagai sesuatu yang sangat ringan. Sedemikian ringannya hingga kita tidak pernah ingat, betapa sulitnya ketika kita berusaha untuk dapat berkata-kata mengucapkan sebuah kalimat di saat masih dalam buaian ibunda kita. Padahal andaikata kita melihat seorang anak usia dua tahun yang kesulitan mengucapkan sepatah kata, kita akan sadar, begitulah dahulu kita adanya. Sangat sulit belajar bicara. Belajar untuk mengeja kalimat dengan sebuah perjuangan yang berat hingga kita berhasil dengan sukses. Dari situ kita akan sampai pada sebuah penyadaran bahwa kemampuan berbicara adalah nikmat yang besar dari Allah. Dan karena lisan ini sebagai nikmat yang besar, maka tentulah kita harus mempergunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat besar bagi hidup dan kehidupan kita. Kita tidak mempergunakannya untuk mengucapkan kalimat-kalimat yang pada akhirnya justru dapat menjungkir balikan kita pada posisi kesengsaraan.
Renungkanlah peringatan beliau junjungan kita Rasulullah SAW. Bahwa salaamatul insane fii hifdzil lisan (keselamatan manusia tergantung bagaimana ia menjaga lisannya). Saya, Anda, kita semuanya akan selamat dari dunia hingga kembali untuk menghadap Allah di alam keabadian, adalah berawal dari menjaga lisan kita sendiri. Menjaga lisan bermakna menghindarkan lisan kita dari mengucapkan kalimat-kalimat kotor yang dapat menimbulkan dosa dan kecelakaan bagi nilai hidup dan kehidupan kita. Setiap pembicaraan yang kita lakukan, setiap kalimat yang kita lontarkan, setiap kata yang kita ucapkan dan setiap huruf yang kita rangkai dengan lisan kita, hendaknya bernilai ibadah, bermuatan tasbih, berkekuatan takbir, dan berisi ruh suci tahlil dikrullah untuk meninggikan ke-Maha Besaran Allah Azza wa Jalla sebagai Dzat yang menganugerahkan lisan ini.
Jika kita senentiasa memberi muatan tasbih di dalam setiap pembicaraan yang kita lakukan, menyalurkan kekuatan takbir di tiap kalimat yang kita lontarkan, menghidupkan ruh tahlil di tiap huruf yang kita rangkai, sehingga setiap detik tak pernah lena dari dzikrullah, maka keselamatan hidup kita dari dunia sampai akhirat adalah menjadi sebuah keniscayaan. Menjadi kepastian yang akan kita peroleh. Karena setiap saat Allah akan curahkan pahala dan cahaya keselamatan pada kita. Hidup kita pun akan terasa semakin nikmat dan semakin rapi. Semakin tenang, damai dan terbebas dari malapetaka.
Tetapi jika saja kita mempergunakan lisan kita untuk membuat kerusakan di muka bumi ini seperti, dipergunakan untuk menggunjing orang lain, mencaci maki orang lain, mengutuk sesama atau mengutuk diri sendiri dengan sumpah serapah, menghinakan orang yang lebih rendah, memfitnah, mengadu domba orang lain, berdusta dan segala macam hal yang buruk, maka yang terjadi pada diri kita pun akan buruk dan sebuah kerusakan hidup. Jiwa kita akan gersang, tiada kedamaian dan semakin tidak tenang, kacau, seolah setiap orang berusaha memusuhi kita. Curiga, prasangka buruk, kebencian, permusuhan dan perpecahan akan selalu terjadi, yang pada gilirannya akan sampailah pada titik kulminasi terendah yaitu kerusakan dan kehancuran hidup dunia akhirat. Di sinilah kenapa Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq memberikan tafsir bahwa daratan adalah lisan kita. faidza fasadal lisaan bakat ‘alaihin nufus (jika lisan telah rusak maka akan ditangisi oleh jiwa. Batin kita akan sengsara manakala menghadap Allah. Dan kebengisan malaikat Malik yang menjaga neraka akan meluluh lantakan kehidupan abadi kita. Siksaan adalah hadiahnya buat kita yang tidak ada habis-habisnya. Na’udzu billah min dzaalika.
Sahabat-sahabatku, lautan adalah qalbu kita, batin kita. Sejatinya di dalam batin kita tersimpan cahaya Ilahiyah yang penuh kebaikan. Kebaikan yang akan dapat membawa kita pada keselamatan hidup dari dunia hingga akhirat dan menghadap Allah dengan suka cita. Namun, jika lisan kita saja sudah rusak, bagaimana mungkin batin kita akan jernih dan bias selamat? Kerusakan lisan akan berdampak pada kerusakan batin. Batin kita akan merana karena kerusakan lisan kita yang parah. Kondisi batin kita akhirnya ibarat kita di tengah lautan hanya berada di atas papan kecil, di dalam air kaki kita digerogoti ikan, kepala kita dipatuki burung bangkai, dan di depan kita ikan hiu siap melumat kita. Begitulah gambarannya. Batin yang seharusnya kembali menghadap Allah dalam keadaan fitrah, suci, tetapi harus kembali kepada Nya dalam keadaan rusak parah. Semua karena lisan yang dirusak oleh si pemiliknya, si manusia yang mengumbar lisan tanpa sadar, bahwa selamat atau celakanya dia adalah karena bagaimana dia menjaga lisannya. Dan jika qalbu, batin kita kembali kepada Allah dengan satu kerusakan yang diawali dari lisan, maka para malaikat akan menangis. Mereka akan berkata, “Kasihan sekali wahai kalian manusia. Allah sudah anugerahkan lisan untuk kalian, agar kalian memuji Allah dan beribadah kepada Nya, tetapi kalian pergunakan untuk keburukan dan kejahatan. Akhirnya qalbu kalian, batin kalian pun harus kembali kepada Allah dengan penuh kesengsaraan. Kalian harus merasakan pedihnya siksa yang diciptakan dengan lisan kalian sendiri dari kehidupan dunia, siksa yang tidak ada putusnya, wahai, celakalah kalian.”
Nah, Sahabat-sahabatku, pernahkah sekali waktu kita sadari, bahwa setiap getaran batin, setiap lintasan pikiran, dan setiap huruf yang kita rangkai menjadi kalimat dengan lisan kita, adalah tanggung jawab dan pasti akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Dzat yang menganugerahkan lisan ini? Semakin banyak kita mempergunakan lisan untuk suatu keburukan, maka akan semakin berat pertanggung jawaban yang harus kita hadapi kelak manakala berjumpa dengan Allah. Ketahuilah, berbicara dengan lisan untuk ibadah kepada Allah adalah lebih baik jika diam kita adalah justru bernilai keburukan. Tetapi diam akan menjadi lebih baik dan menyelamatkan, jika ternyata berkata-kata dengan lisan justru akan menimbulkan keburukan. Keburukan akibat lisan akan menjadi panjang ceritanya dan akan berat pertanggung jawabannya serta hukuman yang harus diterima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar